FREE

Sabtu, 07 Mei 2011

PROFIL ATTARMASIE KU



Bisnis 100% Tanpa Modal
A. Latar Belakang
Sejarah berdirinya Perguruan Islam "Pondok Tremas" Pacitan tidak lepas dari sejarah pendirinya yaitu KH Abdul Mannan putra R. Ngabehi Dipomenggolo seorang Demang di daerah Semanten pinggiran kota Pacitan. KH. Abdul Manan pada masa kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan sangat tertarik terhadap problematika religius. Pada masa remajanya beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama Islam di bawah bimbingan Kyai Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan tekun. Karena ketekunan, kerajinan dan kecerdasan yang dibawanya semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso dalam menguasai dan memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya.
Setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau pulang ke Semanten. Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya, maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh. Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.
Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliau mutasi ke daerah Tremas. Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga merupakan daerah yang sangat kondusif bagi para santri yang ingin belajar dan memperdalam ilmu agama.
Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang kemudian disebut “ Pondok Tremas “. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M.
Asal Mula Kata Tremas
Tremas berasal dari kata Patrem yang berarti senjata atau keris kecil dan Mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai untuk perhiasan kaum wanita. Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan). Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya, barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut, dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.
B. Periodesasi Kepemimpinan
Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan dalam sejarah perkembangannya telah banyak mengalami suksesi kepemimpinan yang dalam civitas pesantren lebih familiar dengan sebutan pengasuh telah memasuki periode keenam;
I. PERIODE KH ABDUL MANNAN (1830-1862)
KH Abdul Mannan yang mempunyai nama kecil Raden Bagus Darso adalah putra dari Raden Ngabehi Dipomenggolo. Beliau adalah peletak batu pertama Pondok Tremas yang dirintis selepas studinya di Pondok Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan KH Hasan Besari.
Selanjutnya beliau mendirikan pondok pesantren didesa Semanten (1 Km dari arah Utara Kota Pacitan). Manu demean pertimbangan kekeluargaan, jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, dan lebih kondusif bagi para santri dalam belajar maka akhirnya beliau mutasi ke daerah Tremas.
Dari nama desa Tremas inilah kemudian pondok ini masyhur dengan sebutan Pondok Tremas. Hingga akhirnya KH. Abdul Manan wafat pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdullah.
II. PERIODE KH ABDULLAH(1862-1894)
Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdullah. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.
Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.
Pada periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam ( mengaji ) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang masih cukup lebat.
Dengan semakin banyaknya santri maka kebutuhan akan tempat tinggal semakin mendesak hingga akhirnya dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka yang nantinya di masa KH. Dimyathi lebih dikenal dengan nama “ Pondok Wetan “. Dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdullah ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menghkhatamkan kitab-kitab dasar berkeinginan untuk melanjutkan beberapa kitab yang lebih tinggi. Sedang santri lama yang dianggap cakap dilibatkan dalam membimbing santri baru.
Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdullah ini tidak begitu mencolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdullah memimpin Pondok Tremas, beliau telah berhasil meletakkan suatu batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.
Keberhasilan KH. Abdullah dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang kontributif bagi dunia ilmu pengetahuan Islam, seperti KH Mahfudz yang masyhur dengan sebutan “ Attarmasie “ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan Islam di negara Arab.
Barangkali karena pengalaman KH. Abdullah dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musim haji adalah Muhammad mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram dan lebih masyhur dengan sebutan Muhammad Mahfudz Attarmasie.
Diantara karya-karya besar beliau yaitu :
1. Manhaj Dzawinnadlor Fi Syarhi Al-Fiyah Ilmu Atsar Lissuyuthi
2. Mauhibah Dzil Fadli Attarmasie
3. Nailul Ma’mul Bighoyatil Wushul
Pada waktu mengajar di Masjidil Haram, kebanyakan murid-muridnya berasal dari Jawa, antara lain saudara-saudaranya sendiri seperti KH. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdul Rozaq, terdapat juga tokoh-tokoh lain yang setelah pulang ke jawa kemudian menjadi ulama’ besar di daerahnya masing-masing, seperti KH. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang, KH. Dahlan dari Watucongol Muntilan, Raden Mas Kumambang dari Surabaya dan lain sebagainya.
III. PERIODE KH DIMYATHI(1894-1934)
KH Dimyathi bin KH Abdullah adalah adik kandung KH Mahfudz Attarmasie. Seiring kharisma KH Mahfudz Attarmasie dengan karya-karya monumentalnya dan kealiman dan kewibawaan KH Dimyathi maka Pada periode ini Pondok Tremas mengalami masa kebangkitan yang pertama sehingga dapat di kategorikan sebagai “Masa Keemasan I”. Karena pada periode ini banyak santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di Pondok Tremas. Bahkan menurut data interview dari para senior bahwa kwantitas santri mencapai nominal 3.000-an
Dengan ketinggian ilmu dan spiritualnya, KH Dimyathi lebih dikenal dengan panggilan Mbah Guru” sehingga akhirnya Pondok Tremas lebih masyhur dengan sebutan “Perguruan Islam Pondok Tremas” yang mengandung pengertian sebagai tempat berguru dan tidak menggunakan istilah yang sering dipakai yakni Pondok Pesantren.
Perlu diketahui bahwa KH Dimyathi pernah mempunyai hubungan “Besan” dengan pendiri Nahdlotul Ulama’ yaitu KH Hasyim Asy’ari. Terbukti dengan menikahkan putra beliau yang bernama KH Haris Dimyathi dengan Ny Fatimah binti KH Hasyim Asy’ari, meskipun pernikahan tersebut tidak bertahan lama.
IV. PERIODE KH HAMID DIMYATHI(1934-1948)
Dengan adanya peristiwa “Affair Madiun” sebagai ekspresi kebiadaban PKI yang menimbulkan banyak korban, tak terkecuali KH Hamid Dimyathi sendiri pun menjadi salah satu korban kekejaman PKI maka pada periode ini mengalami fase kemunduran.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa KH Hamid Dimyathi terbunuh di daerah Jawa Tengah ketika dalam perjalanannya ke Jogja guna penyelamatan jiwanya dan konon atas anjuran Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dengan kondisi yang tidak menentu ini, maka banyak santri yang lebih memilih pulang demi keselamatan jiwanya dibanding bertahan. Sehingga akhirnya Pondok Tremas mengalami masa kevakuman dalam beberapa tahun. Perlu diketahui bahwa vakum disini bukan berarti tidak ada aktivitas santri sama sekali namun hanya sebatas tidak ada figur yang dianggap sebagai Kyai.
V. KH HABIB DIMYATHI (1948-1997) & PERIODE KH HARIS DIMYATHI (1948-1994)
KH Haris Dimyathi dan KH Habib Dimyathi adalah dua bersaudara dan merupakan adik kandung KH Hamid Dimyathi. Sepulang Beliau berdua dari Pondok Krapyak Jogjakarta dibawah asuhan KH Ma’sum, dengan dibantu KH Hasyim Ihsan yang masih ada kerabat dengan keluarga, mereka bertiga mulai membangun kembali Pondok Tremas.
Pada periode ini merintis adanya pembagian tugas, yakni KH Habib Dimyathi sebagai Pimpinan Umum Perguruan Islam Pondok Tremas yang memegang kendali seluruh lembaga pendidikan yang ada dibawah naungan Pondok Tremas, KH Haris Dimyathi sebagai Ketua Majlis Ma’arif yang mengembangkan metoda pendidikan dan pengajaran seluruh lembaga pendidikan di Pondok Tremas, lalu KH Hasyim Ihsan menangani bidang social spiritual secara menyeluruh baik intern komunitas pondok dan ekstern masyarakat sekitar.
Dengan adanya job deskripsi yang termenej dengan baik diantara ketiga beliau maka pondok yang telah mengalami kevakuman ini berangsur mulai ramai didatangi santri dari berbagai penjuru nusantara. Sehingga periode ini dapat dikategorikan sebagai “Masa Keemasan II”. Sesuai data statistic pondok, kwantitas santri mencapai 2.500-an.
VI. PERIODE KH FUAD HABIB DIMYATHI & KH LUQMAN HARIS DIMYATHI (1997- Sekarang)

Setelah wafatnya KH Haris Dimyathi, KH Habib Dimyathi dan KH Hasyim Ihsan, management Pondok Tremas masih seperti periode sebelumnya yakni adanya job deskripsi diantara putra-putra beliau. KH Fuad Habib Dimyathi (putra KH Habib Dimyathi) sebagai Pimpinan Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH Luqman Hakim (putra KH Haris Dimyathi) sebagai Ketua Majlis Ma’arif, KH Mahrus Hasyim yang setelah wafatnya dilanjutkan KH Ashif Hasyim (putra KH Hasyim Ihsan) sebagai figur yang berkompeten dalam bidang sosial spiritual.
Sebagai Public figure yang masih relative muda, Gus Fuad dan Gus Luqman memiliki spirit dan motivasi yang responsif demi kemajuan dan perkembangan Pondok Tremas. Langkah pertama yang mengawali periode ini adalah pembenahan sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok Tremas. Langkah ini dinilai sangat relevan karena masjid merupakan sentral aktivitas komunitas pesantren bahkan masyarakat desa Tremas. Pembangunan masjid yang menghabiskan dana sekitar Rp 2,5 M ini dimulai pada tahun 1998 dan akhirnya selesai sekaligus diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam even Reuni Nasional II pada tahun 2007.
Berikutnya pembangunan infrastruktur yang lain ikut menyusul seperti pembangunan madrasah sekitar masjid, asrama santri, pavingisasi, laboratorium computer & bahasa, pengembangan koprasi santri, ruang diklat dan lain sebagainya yang menunjang pendidikan dan pengajaran santri.
Disamping pembangunan fisik pondok, langkah strategis lainnya yaitu revisi kurikulum yang relevan dengan perkembangan zaman yang sangat dinamis sebagai upaya menjaga kualitas santri yang sedang menempuh pendidikan, lebih-lebih santri yang telah selesai studinya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah Realisasi status “Pesantren Mu’adalah” yang diperoleh Pondok Tremas berdasarkan SK DIRJEN Pendidikan Islam Nomor: DJ.II/DT.II.II/507/2006. Adapun kwantitas santri relatif satabil pada kisaran 2.000-an. Sehingga dapat dikategorikan bahwa periode ini dalam fase “Menuju Masa Keemasan III”.
C. Dasar Pengembangan
Perguruan Islam Pondok Tremas sebagai lembaga pendidikan yang notabene salaf tidak menutup diri akan kemajuan ilmu tehnologi sehingga dasar pengembangannya diadaptasikan pada pendidikan yang akomodatif dengan tuntutan zaman tanpa menafikan tradisi klasik yang masih relevan. Hal ini tidak lepas dari prinsip : “AL MUHAFADLOH ‘ALAL QODIMISH SHOLIH WAL AKHDZU BIL JADIDIL ASHLAH” ( Mempertahankan metodologi klasik yang masih relevan dan mengadopsi metodologi modern yang lebih produktif).
Prinsip diatas dijadikan sebagai landasan pengembangan pendidikan dalam civitas akademika Pondok Tremas yang ditandai membudayakan metodologi modern dalam konsep pembelajaran yang meningkatkan kualitas santri yang tetap berpegang teguh pada etiket akhlaqul karimah pada seluruh lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan Pondok Tremas, mulai dari TK, TPA, MADIN, MTs & MA Salafiyah Mu’adalah dan MTs Reguler.
D. Visi dan Misi
1. Jati diri
Perguruan Islam Pondok Tremas adalah civitas akademika salaf yang komitmen terhadap tradisi klasik namun inklusif terhadap metodologi baru yang lebih produktif demi syi’ar Islam yang rohmatan lil ‘alamin.
2. Visi
Mewujudkan Pondok Tremas sebagai civitas akademika salaf yang kompetitif di tingkat nasional dan internasional.
3. Misi
a. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan Islam secara kaffah.
b. Membangun Indonesia menjadi negara madani yang diridloi Allah.
4. Tujuan
a. Membentuk pribadi santri yang berakhlaqul karimah.
b. Menghasilkan lulusan yang aktif, kreatif, inonatif dan kompetitif.
5. Motto
Mencetak insan benar yang pintar

E. Satlogi Santri
Satlogi santri Perguruan Islam Pondok Tremas Pacitan merupakan ide ideal yang secara filosofis merupakan harapan yang harus dicapai oleh setiap santri agar kelak dapat mengamalkan hal-hal sebagai berikut :
1. S = Shobrun, setiap santri harus memiliki pribadi yang sabar dalam segala kondisi
2. A = Amanah, setiap santri harus memiliki pribadi yang dapat dipercaya
3. N = Nafi’ah, setiap santri harus mampu memberikan manfa’ah bagi agama, nusa dan bangsa
4. T = Tho’ah, setiap santri harus memiliki pribadi yang taat kepada Allah, Rosul dan Ulil amri
5. R = Rofi’ah, setiap santri harus memiliki pribadi yang mulia dalam berucap dan beramal
6. I = Istiqomah, setiap santri harus memiliki pribadi yang konsisten dan konsekuen dalam beribadah


F. Letak Geografis dan luas Pesantren
Secara geografis, Pondok Tremas terletak ke arah utara jantung kota Pacitan + 8 Km di desa Tremas, kecamatan Arjosari, kabupaten Pacitan, Jawa timur. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur timur 11' 2 – 11' 28.
Luas Pondok Tremas sekitar 5 hektar persegi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar